pict: by. google.com
Oleh: Muhammad Iqbal
Sebuah catatan kecil, maaf aku bukan seorang penulis handal.
Cuman sekedar ingin mencurahkan isi hati melalui catatan kecil ini.
ORKES DANGDUT bisa kita lihat dari banyak sudut pandang, dan
setiap orang pun mempunyai sudut pandangnya masing-masing. Orkes bisa terlihat
positif ketika kita melihatnya dari sudut pandang seseorang yang mencari
penghasilan dari hal itu untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga, anak dan
istrinya. Karena aku juga pernah berada pada sudut pandang tersebut, menganggap
orkes adalah pekerjaan yang paing enak di dunia. Kerjanya hanya main musik
riwa-riwi seantero nusantara dengan hati yang selalu senang ceria di damping para
biduan-biduan cantik ala dunia dan mendapatkan penghasilan pula untuk anak
istri di rumah tanpa peduli dengan apa yang terjadi di luar panggung. Dan tak
lupa selalu melakukan kewajiban beribadah sholat lima waktu. Itu sudut
pandangku tentang enaknya menjadi anggota orkesan. Enak toh? Kewajiban sholat
tak ditinggal, kewajiban sebagai seprang suami juga tak pernah lalai. Jangan
pernah ditanya tentang dasar hukum agama, yang penting happy dan bisa memberi
makan anak istri.
Orkes juga pernah aku lihat dari sisi sebagai seorang
penikmat musik sebagai hiburan dari lelahnya kesibukan dunia. Dengan joget
kanan kiri, seolah mampu menghilangkan rasa penat dan dapat memunculkan kembali
mood terbaik dalam menjalani hidup. Aku yankin kalian para penikmat orkes juga
akan berkata demikian. “Mboh enak gak enak suara vocal penyanyine” yang
penting joget mas.
Akah tetapi aku terlupa dari sudut pandang negatif, yang tak
pernah aku pikirkan selama ini. Memang, sudah pernah ada sebuah tulisan dari
seorang saudari yang begitu menghebohkan dengan kritik pedasnya akan adanya
sebuah orkesan di kecamatanku sehingga mencoreng fungsi pendidikan yang
seharusnya mampu memperbaik akhlak dan moral anak. Mungkin itu bisa dijadikan
sebagai sebuah pecutan keras untuk aku yang jarang melihat sisi negatif dari
orkesan tersebut.
Ah … sebenarnya apa sih hubungannya orkes dangdut dengan
Nyai Ahmad Dahlan? Terus untuk apa judul catatan ini dibuat?
Terfikir dalam benakku tentang sudut pandang negatif orkes
dangdut. Dari sudut mana itu? Yaitu dari sudut pandang sebagai seorang
pendidik/guru/ustadz yang selalu berusaha menanamkan karakter keagamaan,
karakter bangsa yang beradab kepada seluruh peserta didik. Dan juga dari sudut
pandang sebagai orang tua terutama seorang ibu yang menginginkan putra-putrinya
tidak terjerumus dalam kegiatan-kegiatan yang kurang berguna untuk masa depan anak-anak
mereka.
Tulisan ini tercipta karena tiga sisi yang aku alami dalam
satu bulan ini. pertama, dalam sebuah tulisan dari saudariku yang pernah
membuka mata akan hubungan antara orkes dengan pendidikan moral. Kedua, banyaknya
kegiatan-kegiatan dalam bulan agustus yang banyak mendapat sorotan, terutama
orkes di sana-sini. Ketiga, bertepatan dengan launching film Nyai Ahmad Dahlan
yang mana aku sendiri juga ikut menonton film tersebut di bioskop kota surabaya.
Sebuah film yang menggugah jiwa para perempuan. Bagiku sangat recommended bagi
seluruh perempuan di nusantara baik itu yang berjiwa Muhammadiyah Aisyiyah
maupun tidak.
Nyai Ahmad Dahlan dengan nama asli nyai Walidah adalah
seorang istri dari KH. Ahmad Dahlan seorang pendiri organisasi Muhammadiyah.
Tak banyak yang aku ketahui tentang sosok beliau. Hanya saja baru beberapa hari
yang lalu aku menonton film Nyai Ahmad Dahlan sebuah biografi yang menceritakan
perjuangan Nyai Walidah dan juga organisasi ‘Aisyiyah. Sebuah perjuangan
seorang perempuan yang mengangkat harkat dan martabat seorang perempuan dalam
masyarakat. Mengistimewakan pentingnya peran seorang istri dalam rumah tangga
dan juga terhadap perjuangan seorang suami. Sempat beberapa kali aku terharu,
bahkan meneteskan air mata melihat perjuangan yang begitu gigihnya seorang
perempuan bernama walidah. Memperlihatkan bahwa perempuan juga bisa menjadi
sosok penting dalam perubahan peradaban seorang anak manusia.
Dan … pada malam ini tanggal 30 Agustus 2017, aku kembali
melihat sosok Nyai Ahmad Dahlan (Nyai Walidah) dalam bentuk nyata di depan
mataku. Pada acara resepsi agustusan tingkat desa yang aku hadiri, Terlihat
sebuah tontonan orkes musik dangdut yang sedang berlangsung dengan begitu
senangnya para penonton berjoget. Akan tetapi, Aku melihat sosok perempuan yang
berani menerjang ke dalam keramaian para penonton yang sedang asyiknya
berjoget. Mungkin kalian bertanya kepadaku, apakah aku mengenal siapakah
perempuan itu yang menerjang di kerumunan para penikmat musik? Tentunya aku
tahu siapa beliau.
Dalam fikiranku terbesit sebuah kecemasan tentang apa yang
akan terjadi dengan apa yang beliau lakukan ini. Aku segera mengikuti gerak
langkahnya dengan perasaan khawatir dengan apa yang akan terjadi. Sontak saja,
hati ini heran, kagum, bangga, terharu. Dengan tanpa berfikir panjang akan
resiko yang akan beliau hadapi. Mungkin dengan perasaan emosi yang meluap
melihat para remaja putri dengan asyiknya ikut berjoget. Sebagai seorang ibu,
sebagai seorang pemimpin sepertinya sangat wajar dengan apa yang beliau
lakukan. Beliau menerjang kerumunan dan langsung membubarkan para remaja putri
tersebut untuk tidak ikut dalam joget-jogetan. Tanpa memperdulikan siapa saja
yang ada di sekitar mereka, tanpa memperdulikan dari keluarga mana dan anak siapa.
Kalau ditanya, apakah beliau di mana rumah para remaja putrid itu? Siapakah
nama-nama orang tuanya? Pekerjaan orang tuanya dan penghasilannya? Aku yakin
jawabannya adalah beliau tidak tahu sama sekali. Yang beliau tahu hanyalah
harkat dan martabat seorang perempuan itu dipertaruhkan dalam segala
aktifitasnya, kegiatan negatif sekecil apapun jika dilakukan secara
berkesinambungan akan menjadi sebuah kebiasaan yang akan selalu terulang, apalagi
kegiatan remaja putri joget-jogetan di depan panggung dan berkerumun dengan
para laki-laki. Secara tidak langsung, sungguh sangat menyakitkan hati para orang
tua terutama seorang ibu yang menginginkan anak keturunannya menjadi seorang
perempuan yang sempurna di mata bangsa dan agama.
Entah masih berapa banyak lagi sosok Nyai Ahmad Dahlan yang
bisa aku jumpai di sekitarku. Apakah sosok itu sudah musnah ditelan era akhir
zaman. Berani menerjang arus demi nasib
orang lain, orang yang tidak ia ketahui asal-usulnya.
Wahai para putri, apa yang kau pikirkan dengan ikut
joget-jogetan seperti itu? (maaf aku sendiri yang menulis ini belum mendapatkan
jawabannya) Wahai para putri, kira-kira apa yang akan dikatakan oleh kedua
orang tua mu dengan keadaanmu seperti itu.
Mohon maaf jika tulisan ini menjadikan banyak orang
tersinggung. Jujur saja, aku sendiri tersinggung dengan apa yang terjadi di
masyarakat kita, tentang pendidikan orang tua terhadap seluruh anggota
keluarga. Apakah kita sebagai seorang remaja yang akan naik jabatan menjadi
orang tua, rela dan mau menjadi orang tua yang mengikhlaskan sebuah pendidikan
diserahkan pada orang lain saja? Marilah kita sama-sama untuk belajar arti
sebuah kata “sadar” dan “peduli” dengan masa depan anak keturunan kita.
Brondong, Agustus 2017