Jumat, 14 Juni 2019

KANVAS LAMONGAN

KANVAS LAMONGAN



Buah Karya : Zainul Muttaqin Sa'i Chalimah Pemuda Muhammadiyah    Sedayulawas Dan Pujangga Ponpes YTP Kertosono. 

1543-1556 Ronggo Aboe Amin Bupati ruhnya kuas.
1556-1569 Ronggo Hadi Bupati pelukis.

Catnya lautan pantura lamongan di rias. 
Jonjon nan perahu-perahu berlayar ikan bergaya realis. 
Sungai lamongan selatan   tambak bandeng membidik cerah desaind kontras. 
Sawah ladang lamongan tengah nan selatan padi menguning, lombok memerah warna-warna kolaborasi realis suryalis. 
Cagar budaya " Sunan Drajat, Gua Maharani WBL, Gunung Menjuluk Sedayulawas (ini cita-citaku akan kujadikan Taman Budaya yang unik icon).

Sego boranan, tahu campur, soto babat, wingko babat wingko sedayulawas kuliner lamongan khas. 
Gajah Mada asal desa Modo babat nan Kanjeng Sepuh asal desa sedayulawas sumpah palapa Nusantara abstraknya lukisan lamongan, Para kolektor-kolektor galery nambah kocek terus. 
Lamongan Raharjaning Projo di jagad Kanvas.

Munggah Gunung Menjuluk: Refleksi PRPM Sedayulawas Gelar Halal Bihalal

"Munggah Gunung Menjuluk: Refleksi PRPM Sedayulawas Gelar Halal Bihalal"


Pasca hari raya idhul fitri dijadikan moment setiap orang masih melakukan penyambung tali silaturrahmi terhadap sesama. Sama halnya yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sedayulawas yakni rutinitas tahunan kegiatan Munggah (naik atau daki) Gunung Menjuluk pada satu minggu pasca hari raya. Gunung Menjuluk menjadi tempat yang enjoy untuk dikunjungi apalagi dibuat untuk acara keluarga atau halal bihalal bersama-sama.

Kali ini adalah kegiatan Halal Bihalal Pimpinan Ranting Pemuda Muhammadiyah (PRPM) Sedayulawas sangat berbeda, karena kegiatannya tidak hanya sebatas temu kangen dan makan-makan saja. Tapi kegiatan  halal bihalal dijadikan sebagai wadah diskusi dan tukar pemikiran untuk membahas berbagai permasalahan yang ada didesa selama ini yang cukup  meresahkan masyarakat Desa Sedayulawas, baik tentang sosial, politik, agama, lingkungan dan budaya. 

Dari Segi Budaya, Sedayulawas sangat beraneka ragam budaya yang ada, dari setiap kampung saja ada banyak nama-nama kampung yang unik namanya, ada kampung pupantara, radikal, kaliketek, banjangan, watu celeng, sumur ombe, ranjung jumplang, kelapanan. Dari setiap kampung itu tidak hanya sebatas nama tetapi ada sejarahnya dan kekhasannya masing-masing. 

Segi Lingkungan, Sedayulawas punya sumber daya alam yang melimpah, ada pantai pesisir, pelabuhan kapal, gunung kendil, gunung menjuluk. Tempat itu sebenarnya cukup indah untuk dipandang.

Segi Agama, Sedayulawas ada 2 masjid yang besar yaitu Masjid Taqwa Muhammadiyah Sedayulawas dan Masjid Agung Sedayulawas, selain itu juga ada banyak mushola yang tersebar disetiap kampung. Banyak juga tokoh agama yang berkompeten dibidangnya dan banyak sekali tokoh-tokoh lulusan pondok pesantren. Berbicara pondok pesantren di Sedayulawas juga ada pondok pesantren yang cukup baik yang selama ini menjadi sasaran bagi orang tua luar desa yang menginginkan anaknya untuk dipondokan. 

Segi politik, Sedayulawas menjadi sasaran yang produktif dalam penentuan kekuasaan, baik pemilihan kepala pemerintahan desa, daerah, provinsi dan pusat. Karena Sedayulawas memiliki penduduk jumlah pemilih terbesar sekecamatan Brondong.

Artinya Sedayulawas ini sangat berpotensi dalam setiap lini untuk menjadikan desa yang unggul dan maju dibandingkan desa-desa yang lain, sebenarnya sumber daya manusianya sangat bagus sekali untuk menggerakkan dan menjadikan desa ini tidak hanya desa yang biasa-biasa saja, tapi seharusnya menjadikan desa percontohan. Dalam pikiran kita muncul sebuah pertanyaan, apakah kita sebagai masyarakat Desa Sedayulawas bisa mewujudkan impian semua itu? Tentu pastinya semua orang menginginkan semua hal itu, tidak hanya dijadikan sebatas wacana, gambaran maupun konsep. Tapi ini menjadi tanggung jawab bersama untuk memikirkan dan mewujudkannya. Kesadaran masyarakat dan kekuatan Pemerintah Desa menjadi peran penting membangun desa Sedayulawas kedepannya. (Kholis) 

Kamis, 06 Juni 2019

Hari Raya Idul Fitri 1440 Hijriyah: Hari Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Pancasila Sila Ke-5)

*"Hari Raya Idul Fitri 1440 Hijriyah: Hari Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Pancasila Sila Ke-5)"*


Takbir berkumandang setiap insan berlomba-lomba melafadzkan kalimatullah. Allahu akbar Allahu akbar walillah ilham...
Hari kemenangan akan tiba pada akhirnya semua merasakan namanya kemajuan, tapi kenapa mereka yang merasakan akan ketidakadilan seolah dunia semakin mundur. Ucapan tidak didengar, tindakan disebut makar, rumah ibadah dibakar. Apakah ini yang dinamakan kemajuan? Ini bukan kemajuan tapi awal dari sebuah kemunduran. Beribu-ribu orang turun kejalan dengan niat ikhlas menuntut keadilan atas kecurangan yang dilakukan, 10 orang mati dalam kesyahidan dikatakan para penguasa mereka mati sebagai penyusupan. Beberapa ulama', tokoh, kiyai, aktivis dipenjarakan dikatakan karena melawan pemerintahan. Terus yang dinamakan keadilan letaknya berada disisi mana? Apakah itu semua namanya kemajuan. Sila ke-5 pancasila berbunyi "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", apakah rakyat sudah mendapatkan keadilan. Kebutuhan pokok meningkat, bahan bakar menaik, pelayanan kesehatan tak merata, hukum tumpul diatas lancip kebawah, banyak anak tak sekolah karena tak terakomodirnya pendidikan, impor digencarkan, tenaga asing diperbanyak, lapangan pekerjaan semakin sempit, infrastruktur terus dibangun, moral anak tak diurus. Sungguh banyak ketimpangan sosial yang sangat mengerikan. 

Bulan ramadhan bulan penuh keberkahan, sangat tak relevan pada bangsa ini bilamana kondisi negara tak berfikir tentang keadilan sosial bagi rakyat indonesia. Berkah yang tak tersampaikan di bulan ramadhan ini, yang seharusnya setiap warga mendapatkan pelayanan dan keamanan demi menjaga kesatuan dan persatuan negara. Karena imbas perebutan kekuasaan yang tak bijaksana dan tak jujur sehingga kecurangan tak menjadikan berkah bagi seluruh rakyat indonesia.

Berkaca di era Soeharto sekitar tahun 90an atau diistilahkan dengan orde baru, warga negara terjamin akan keselamatan dan kebutuhan pokok, semua warga negara sama pemerataan disetiap daerah dapat dirasakan dan dinikmati. Semasa pemerintahan orde baru-nya, rakyat hidup dengan sangat makmur, ‘Gemah ripah loh jenawi’ kata orang Jawa. Mulai dari harga bahan pokok yang terjangkau, kerjaan mudah didapat, serta sangat aman. Dibandingkan sekarang memang agak jauh, namun hal tersebut ditebus dengan kebebasan bicara yang mungkin dulu tidak mungkin dilakukan dengan bebas. (Kholis)